Senin, 06 Juni 2011

Mahluk Relatif

Percayakah kalian dengan mahluk relatif? Jangan menaruh kesetiaan pada mahluk yang demikian. Mungkin benar kita harus percaya dengan mahluk yang statis dan kekal. Tapi adakah mahluk yang demikian?
pria tua yang tengah lelah


RASA TAKUT MERASUKIKU KETIKA MULAI MEMBONGKAR IDE INI. Aku takut inilah yang sebenarnya terjadi. Sangat beruntung bagi kalian yang masih memiliki rasa cinta atau tepatnya memiliki hati, mungkin si penulis tidak seberuntung kalian.


Mungkin inilah yang disebut perjalanan hidup. Panjang, hingga tak seorang pun tau ujung dari petualangan ini. Semoga ini hanyalah suatu tahapan ketika sekarang aku merasa tidak punya hati.


Seandainya ada gugatan tentang ide dalam tulisan ini, adalah wajar dan aku terima, karena ini bukan cerita romance yang biasanya terbingkai apik. Sebaliknya, ini adalah ide bagaimana seseorang bisa disebut kehilangan hati.


Aku tidak punya cinta sekarang. Bukan diartikan pacar, tapi rasa mencintai. Kalau ditanya memang aku tidak punya pacar. Bukannya tidak mampu menggaet wanita, hingga dikatakan penyuka sesama jenis, atau pacaranya Yogie Joel, lebih parah lagi dicap tidak laku. Tapi pertanyaannya mengapa harus punya pacar? Kalau sekedar teman wanita banyak. Perhatian mereka cukuplah menyamai apa itu pacar, bahkan ada yang lebih, sampai-sampai menjurus kearah posesif (sebut saja si Kartini). Anggap saja paragraf ini hanya sekedar pembelaan bagi kalian yang nganggap aku penyuka sesama jenis atau hal lainnya.


Ini bukan cerita curahan hati, dan aku tidak ingin tulisan ini berakhir dengan “kosongan”, harus ada ide. Sekalipun berat, karena semakin berfikir semakin aku yakin bahwa ada manusia yang tidak memiliki cinta.


Pacaran. Diawali dari seseorang mengungkapkan rasa cinta. Bahasa gaulnya nembak. Dalam budaya pergaulan -entah dari mana asalnya budaya ini atau mungkin ini menurun dari budaya patriarki- prialah yang biasa atau seharusnya melakukan penembakan ini. Saking prestisiusnya sempat ada acara di televisi yang memperlombakan acara penembakan ini. Meriah sekali.


Apa yang sebenarnya terjadi dalam penembakan itu? Iya, diawali dengan mengunggkapkan perasaan dari orang yang menembak. “I love you”, atau “aku cinta kamu”, kadang ada juga yang berkata “aku menyayangimu”, itu sederet ungkapan yang dilontarkan oleh sang pejuang –sebuatan si penembak dalam acara televisi itu-. Ketika cinta dianggap hal yang prestisius atau hal yang berharga, tinggi harkatnya, hingga menjadi hal wajar saja orang yang ingin mendapatannya disetarakan dengan para pahlawan, atau disebut “PEJUANG CINTA”.


Lantas apa selanjutnya, iya tepuk tangan merih. “Plok…Plok…Plok,” bersahut-sahutan. Tak jarang ada suara siul memeriahkan acara penembakan atau perjuangan itu. Itu terjadi bila cintanya diterima, kalau tidak bisa dibayangkan. Raut wajah akan berubah. Kadang menjadi gagap mendadak. Mata merah. Tak jarang ada yang meneteskan air mata bak pejuang kalah berperang.


Kemudian kisah cinta terjalin. Dengan status pacaran, mereka merasa legal untuk mengajak jalan bersama. Merasa sah ketika harus mencium pasangannya, atau memeluk dan tindakan yang lain. Mereka merasa benar ketika memarahi hingga memukul. Itu dianggap sebagai hukuman bagi pasangannya yang melakukan perselingkuhan atau berbuat yang tidak benar dengan parameter yang tidak jelas.


Kemudian kisah cinta berakhir. Dan pacaran harus disudahi ketika salah satu diantara mereka bilang sudah tidak cinta. Ibarat bayi yang baru lahir, mereka bak manusia yang suci, berkeinginan untuk memulai kehidupan baru yang ternyata ujung-ujungnya tak jauh beda. Gitu-gitu lagi.


Itulah yang sering terjadi dalam budaya jaman sekarang –tepatnya saya tidak tahu apakah dulu juga demikian-. Tapi ironis sekali, hal sebegitu abstruk bisa terjadi. Hanya bermodal ucapan sayang atau cinta kita meletakkan kesetiaan kepada mahluk yang relatif. Serba relatif, dari perasaan hingga ucapan, jangan ditanya perbuatannya.


Menjalin kesetiaan dengan mahluk yang relatif adalah hal yang mustahil. Mahluk relatif selalu berubah dan pasti akan berubah. Bagaimana bisa setia dengan hal yang relatif? Mungkin benar ketika kita patut setia kepada sang pencipta karena dia kekal dan statis. Sekalipun banyak kalangan masih sulit manerima keberadaan-Nya, minim sebagian orang menganggap itu nyata.


Mahluk relatif hanya setia pada kepentingannya. Jelas. Mungkin benar ketika tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 74 ialah mendapat keturunan. Hal tersebut sesuai kerelatifan manusia. Mustahil hal yang relatif bisa setia dengan hal relatif yang lain, tanpa ada tujuan yang sama.


“Lantas apa tujuan pacaran?”
“Kenapa harus pacaran?”
“Apa bedanya ketika pacaran atau tidak?”


Kalau tujuan pacaran hanya bersenang-senang, semua bisa bersenang-senang dengan atau tanpa status yang demikian rumit. Kalau hanya untuk pamer-pameran didepan kawan-kawan atau sobat-sobat apa hanya itu hakekatnya kita melepaskan kebebasan dan menaruh kesetiaan pada mahluk relatif? Aku kira adalah hal yang menderita ketika melakukan itu.


Kalau hanya untuk melegalkan dalam hal mengajak jalan atau bercinta, aku kita hal tersebut adalah gila, karena pada dasarnya tidak ada yang mengatur demikian. Sejak kapan orang hanya boleh mengajak jalan ketika hanya dalam status pacaran? Kalau dibilang ini kebudayaan, saya tidak terima dengan kegilaan semacam ini. Tapi jujur ini yang terjadi. Aku berada ditengah kegilaan.


Aku merasa menjadi orang yang aneh ditengah orang yang menggap cinta itu ada dan harus ada. Karena ketiadaan dalam keberadaan akan menjadi pembeda dalam suatu kelompok. Dan itu aku.

2 komentar:

  1. selalu mengenai apologi serupa..tidak berubah...
    sangat lugas dalam mendeskripsikan diri sendiri yang sebenarnya tidak terlalu dikenali diri sendiri..

    BalasHapus
  2. Nice posting.

    Setuju dengan anggapan bahwa -orang hanya boleh mengajak 'jalan' ketika hanya dalam status pacaran-..
    Klo itu dianggap sebagai budaya, aku juga menganggap itu kegilaan..

    Tapi aku adalah orang yang menganggap, cinta adalah sesuatu harus diciptakan. Karena menurutku, tanpa cinta, hidup ini kosong (hampa)..

    BalasHapus