Senin, 06 Juni 2011

Kasihani Kartini




Kasiani Kartini, bagi kalian (wanita.red) yang memuja pria dengan kemapanannya dengan mengorbankan kebebasan dan kesenangan diri kalian sendiri. Ini adalah pemikiran kebebasan yang hanya memuja apa yang diambisikan, melupakan segala yang bersifat kenyamanan dan kekenyangan atas duniawi.

SIAPA TAK MENGENAL NAMANYA. R.A. Kartini atau seharusnya disebut dengan Raden Ayu Kartini, wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879. Namanya diagungkan menjadi pelopor emansipasi wanita. Setiap kali ada isu perempuan yang termarginalkan namanya selalu masuk dalam artikel surat kabar, masuk dalam dengungan microphone yang menyeru di tv dan radio.

Bagaimana  menjadi seorang Kartini? Tidak sulit, cukup menulis surat tentang keluhkesahmu atau penderitaanmu yang kamu alami di Negeri Kasian ini, kemudian kirim kesahabat mu di luar negeri. Benar, itu yang dilakukan Kartini dulu.  Tapi menjadi hal yang percuma bila itu hendak kamu lakukan dijaman ini. Tidak perlu menulis surat,toh orang luar sudah tau betapa kasiannya kita di Negeri ini.

Dijaman dulu orang-orang (wanita jawa.red) tidak mengetahui atau menyadari apa yang diri mereka alami. Budaya patriarki, budaya yang meletakan pria sebagai mahluk yang super dan wanita sebagai subordinansi atas kekuatan pria. Kekuasaan pria menjadi hal yang lumrah, didukung dengan adat-adat jawa lainnya, itu telah menjadi hal yang sempurna sebagai alat menindas wanita dalam perkawinan.

Dapur, sumur dan kasur, itu yang menjadi pekerjaan mereka. Menyiapkkan makanan, membersihkan apa yang kotor, dan melayani suaminya dalam hal kepuasan birahi. Hal tersebut mereka lakukan secara sadar, tak perlu perintah, tak perlu seruan. Justru mereka akan sedih bila itu tidak mereka lakukan, lebih-lebih untuk urusan kasur.

Dijaman sekarang ternyata tidak jauh berbeda. Wanita tetap menjadi subordinansi atas kekuasaan pria. Mereka patuh, tunduk terhadap pria. Ini bukan jaman Romeo atau Juliet. Yang setia atas dasar kasih dan sayang. “Pretttt…!!!”  (mungkin ada yang demikian)

Pekerjaan mereka tidak lagi dapur, sumur, kasur. Mungkin dapur menjadi hal yang rumit dan makan di mall atau café -tempat makan yang tidak memberikan keadilan dalam hal materi- yang menyajikan kenyamanan menjadi hal yang mengasikan bagi mereka.

Sumur??? Mereka mempunyai spa dan seperangkat peralatan wajah itu hal yang utama dalam urusan bersih-bersih bagi mereka. Tidak perlu berih-bersih rumah atau lainnya, sudah ada sistem kerja yang bertugas untuk itu. Mereka hanya tinggal merawat wajah dan bagian tubuh lain. Entah itu lifestyleatau modal mereka kedepan untuk mendapatkan kemapanan dalam dompet pria.

Untuk urusan kasur, tidak perlu ditanya.  Kadang itu menjadi alat pelumas keluarnya rupiah dari dompet pria. Entah dengan model pelacuran (bagi yang melakukan diluar hubungan perkawinan) atau jenis lainnya.

Mereka telah melupakan kebudayaan, mereka berani menentang tirani berbentuk kebudayaan. Mereka siap berkompetisi dengan lawan jenis. Namun dalam hal kepatuhan tidak berubah. Yang berbeda adalah landasan kepatuhan itu. Kepatuhan yang didasari kemapanan dan kenyamanan yang telah mereka peroleh.

Kasiani Kartini, sekalipun  ia berhasil –atau orang lain yang menbuat idenya berhasil- membongkar budaya patriarki ternyata itu tidak membuat hal yang berbeda, tetap saja para wanita menundukan diri dalam tirani lelaki dengan nama kemapanan dan kekenyangan atas duniawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar