Rabu, 23 November 2011

Ahmadiyah, dan Masyarakat Kita

6 September 2010. Dalam sebuah perbincangan di kereta Prambanan Ekspres dari Yogyakarta tujuan Solo aku mendapati keyataan yang mengherankan.

Kereta keberangkatan pukul 14.39 WIB dari Stasiun Lempuyangan memiliki sit 2-2 dan 3-3 yang berhadapan. Aku duduk dalam sit 2-2. Dihadapanku ada wanita berjilbab, setelah aku berkenalan, namanya Rosita. Di sebelah aku diduduki lelaki yang mengenakan kemeja salah satu proveider swasta, ia memangku tas jinjing, dan memilih melihat ke arah luar jendela. Sampai akhir perjalanan aku pun belum sempat berkenalan dengannya.

Rosita Alim Hidayat. Jebolan salah satu pesantren di Solo ini memilih untuk meneruskan pendidikan S-1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Negeri Yogyakarta bahkan sekarang sedang menempuh pendidikan S-2 di Universitas yang sama. Dalam usia 25 tahun, Rosita telah menjadi dosen untuk matakuliah pendidikan matematikan di FKIP Universitas Sarjana Wiyata, Yogyakarta. Sekalipun aktifitasnya di Yogyakarta, Rosita memilih menetap di Solo dan menggunakan kereta buatan Jepang ini untuk pulang pergi.

Sekalipun pelayanan kereta bisnis ini dari waktu terus menurun, dari masalah kebersihan gerbong hingga lokomotif yang sudah tidak layak jalan serta kenaikan tarif yang tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan, tidak menyurutkan niat ku untuk mengunakan alat transportasi ini. Ini dikarenakan, kereta ini tidak hanya alat transportasi buat ku, namun telah menjadi tempat untuk bersosialisasi. Tak jarang aku berkenalan dan berbincang dengan seseorang yang latar belakang yang berbeda. Mendapat pengalaman baru dari apa yang dialami orang yang baru aku kenal. Tidak hanya itu, disini juga menjadi tempat untuk berdiskusi tentang segala hal, tentang pemerintah, tentang budaya, bahkan tentang perekonomian.

Perkenalan dengan Rosita membuat saya bertanya bagaimana pendapatnya tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saya awali dengan fatwa merokok. “Kalo rokok itu saya melihatnya mudaratnya lebih banyak, kan ada hadis yang bilang, jagalah kesehatan, rokok itu kan merusak kesehatan, dari situ saja saya melihatnya,” jelasnya. Dia juga mengkaitkan dengan tradisi jawa dalam memeringati meninggalnya seseorang dengan ajaran agama yang menurutnya tidak ada kaitanya dengan Islam.

“Kalo fatwa tentang Ahmadiyah gimana?” Lanjut ku.

“Gak ada itu mas,” sambung cepat lelaki yang duduk di sebelah aku.

Aku lekas menoleh kearahnya.

“Gak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad, jelas sesat itu,” tegasnya.

Nampaknya pertanyaan ku menarik perhatiannya. Ketika aku melihat Rosita, ia hanya mengangguk saja.

“Tapi kalo kekerasan yang dialami Ahmadiyah bagaimana?” kejar ku.

“Pantes lah, ajaran sesat suruh bubar gak mau,” jawab singkat lelaki itu.

Satu hal yang aku tangkap dari perbincangan itu yakni pemahaman masyarakat tentang makna perbedaan dan kebebasan beragama masih sangat minim. Kasus Ahmadiyah misalnya.

85 tahun aliran kepercayaan itu telah masuk ke Indonesia. Penolakan sebagian masyarakat atas keberadaan Ahmadiyah tak pernah padam. Penolakan itu tidak hanya terwujud didalam tataran wacana, melainkan mencuat dalam bentuk pertikaian sosial yang berakibat jatuhnya korban. Perdebatan wacana, pertikaian sosial, dan baku-hantam fisik secara historis empiris tidak hanya terjadi sekali, akan tetapi berulang dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Anggapan bahwa Ahmadiyah adalah keyakinan yang sesat masih sangat kuat, khususnya penganut agama Islam. Tuduhan penodaan agama sangat kuat disini. Ajaran Ahmadiyah dianggap menyipangi dan bahkan merusak keyakinan agama Islam.

MUI sebagai organisasi Islam yang besar tidak diam saja. Pengkajian terhadap keyakinan Ahmadiyah oleh MUI sampai pada dikeluarkanya fatwa nomor : 05/Kep/Munas II/MUI/1980, yang secara eksplisit menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Fatwa tersebut menjadi sebuah dimensi baru dalam pemikiran masyarakat. Di kalangan masyarakat, terutama kubu penentang keberadaan Ahmadiyah, fatwa ini telah dianggap sebagai alat justifikasi dan legitimasi dari berbagai tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

Perbedaan dalam beragama merupakan hal yang wajar selama kita mengetahui hakekat agama itu sendiri
Agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Dalam bahasa sansekerta  kata ”agama” berasal dari dua kata, yaitu a dan gam yang berarti a adalah tidak, sedangkan gam adalah kacau, sehingga berarti tidak kacau  atau teratur.

Max Weber dan ahli teologi Paul Tillich (1970) memberikan pandangan bahwa agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia yang membuat dunia bermakna. Dalam hal ini banyak pertanyaan dalam ajaran ketuhanan yang tidak dapat dibuktikan, maka untuk itu dipergunakan suatu keyakinan. Kelahiran misal, belum ada teknologi dalam dunia kedokteran untuk menjawab bagaimana menghidupkan sesuatu atau bagaimana mencegah kematian.

Kadang agama juga dipersamakan dengan keyakinan, namun keduanya pada dasarnya adalah hal yang berbeda. Keyakinan diambil dari kata yakin. Yakin dimaknai sebagai percaya dengan sungguh-sungguh, atau bisa dikatakan pasti dan tidak salah. Dan keyakinan sendiri diartikan sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan, keyakinan akan sesuatu tanpa perlu untuk dibuktikan atau bukti.

Sekalipun keduanya merupakan hal yang berbeda namun keduanya saling berkaitan. Ajaran-ajaran agama membutuhkan keyakianan agar diterima manusia. Tanpa adanya keyakinan tidak akan ada agama didunia ini, karena doktrin agama sangat sulit untuk dibuktikan.

Namun keyakinan tidak dapat timbul dengan sendirinya. Masyarakat, sebagai kumpulan individu membutuhkan informasi untuk mengetahui hal tertentu. Informasi tersebut akan disikapi secara berbeda oleh setiap individu. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan logika, serta pengalaman dalam hidupnya.

Perbedaan dalam menerima informasi adalah sebuah cilal bakal dari tumbuhnya pluralitas beragama. Seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga penganut Islam mengetahui bahwa Muhammad sebagai seorang tauladan, Nabi penutup yang menuntun kepada jalan kebaikan. Namun berbeda dengan seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga Nasrani, yang melihat Yesus adalah juru selamatnya. Anak tunggal Allah yang merelakan dirinya disiksa dan disalib untuk menyelamatkan umatnya dari siksa neraka karena dosa yang telah diperbuat.

Keadaan diatas adalah perbedaan keyakinan dikarenakan hal yang wajar, yakni perbedaan informasi yang diterima. Namun nampaknya hal ini belum disadari oleh sebagian besar masyarakat. Anggapan bahwa keyakinannya-lah yang paling benar membenamkan kesadaran akan perbedaan dan memupuskan penghormatan atas keyakinan orang lain. Keadaan ini lah yang menyebabkan benturan-benturan antar umat beragama.
Ini adalah keadaan yang harus segera disadari oleh bangsa ini. Indonesia sebagai negara yang majemuk, yang terdiri dari entitas dengan berbagai perbedaan yang hidup dalam masyarakatnya ini sangat memungkinkan terjadi benturan-benturan tersebut.

Banyak yang harus di lakukan untuk Bangsa ini
Minimnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai perbedaan dan kebebasan dalam beragama sepertinya sudah mengakar dalam diri masyarakat. Merubah sesuatu yang sudah tertanam dan tumbuh sepertinya akan sulit namun bukan berarti tidak mungkin (setidaknya itu yang terus diupayakan oleh pihak-pihak yang peduli atas hak-hak asasi manusia). Akan lebih mudah bila mencegah dan mengupayakan sesuatu tumbuh dengan akar dan batang yang baik sehingga menghasilkan buah yang baik pula.

Hal tersebut dapat diupayakan dengan memberikan penyadaran atau membudayakan nilai-nilai perbedaan sejak dini. Ini adalah hal utama yang bisa kita lakukan. Masyarakat selayaknya mendapat pendidikan tentang perbedaan keyakinan. Pendidikan tersebut bisa diterapkan sejak dini, seperti di Taman Kanak-kanak, anak-anak usia dini sudah dipahamkan tentang hal tersebut dengan cara yang berbeda tentunya. Ini penting karena masa ini adalah masa yang menentukan perkembangan mental seorang anak.

Pemerintah, khususnya Departeman Pendidikan sepatutnya melakukan pembenahan kurikulum pendidikan. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang ada disekolah seharusnya lebih mendasarkan pada penerapan dan pemahaman nilai-nilai perbedaan tidak melulu menyoal tentang teori semata. Teori-teori tersebut hanya akan menjadi nilai dalam buku rapot semata.

Sekolah-sekolah umum juga sepantasnya menyediakan tempat-tempat beribadah bagi semua muridnya, sekalipun jumlah murid penganut agama tersebut sedikit. Pengalaman saya, dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas belum pernah saya jumpai ada tempat ibadah bagi penganut agama lain selain Islam. Pendiskriminasian ini juga memicu runtuhnya penghormatan bagi umat agama lain. Ini adalah hal yang sepele namun memeiliki dampak psikologis yang besar. Seorang anak yang sudah terbiasa melihat perbedaan akan melihat perbedaan sebagai hal yang wajar.

Dengan membiasakan memperlihatkan adanya perbedaan dalam kehidupan ini, maka masyarakat menyikapi hal-hal tersebut dengan sewajarnya.

Melihat kesadaran masyarakat dalam memaknai perbedaan dan kebebasan beragama yang masih rendah merupakan suatu keterpurukan bagi bangsa ini. 65 tahun bangsa ini merdeka namun kesadaran akan perbedaan ini belum sepenuhnya disadari. Penulis merasa ada suatu kegagalan sistem pendidikan yang dijalankan selama ini, sistem yang ada hanya mampu memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang pantas dan tidak pantas, hal yang boleh dan tidak boleh, hal yang terlarang dan yang diperbolehkan. Ada yang seharusnya dirubah. Pendidikan seharusnya didasarkan pada pemahaman akan nilai-nilai dalam masyarakat. Pemahaman itu harus diwujudkan dalam tataran yang nyata. Mislanya dengan menunjukan perbedaan adalah hal yang wajar. Dengan itu diharapkan masyarakat sejak dini sudah terbiasa melihat perbedaan, dan bersikap wajar atas itu. 

Kamis, 17 November 2011

CARA UNTUK MENCARI TAHU

 “Permisi Mbak, saya mau tanya, kalau daerah Kasongan, Bantul itu dimana ya, lewatnya mana ya?” Tanya seorang mahasiswa baru PTS yang berasal dari Luar Jogja kepada pramusaji rumah makan padang, di Jalan Kaliurang Km.12 Sleman.

Adakah kesalahan dalam pertanyaan diatas? Kalau dari sopannya tentu mahasiswa dari luar Jogja  tersebut salah satu orang yang sopan, dia mengawali pertanyaa dengan kata “permisi”.

PENGAMATAN ITU PERLU
Kesalahan utama mahasiswa tersebut adalah menanyakan alamat didaerah Bantul kepada orang yang berada di daerah Sleman. Kesalahan sepele ini bisa mengakibatkan kebingungan dalam memberikan arahan, kalau pun dijawab pasti jawaban tersebut tidak akan akurat, dan sangat mungkin menyesatkan. Maka sebelum bertanya sebaiknya anda melihat-lihat keadaan sekitar.Usahakan anda berada sedekat mungkin dengan alamat yang ingin anda tuju.

Cara ini dinamai observasi atau pengamatan. Ini dilakukan pada tahap awal untuk mencari tahu sesuatu. Dalam pengamatan ini sangat mengandalkan kepekaan indra (lihat; dengar; cium; sentuh) dalam mengamati dan membaca keadaan. Namun dalam pengamatan tersebut observator tidak boleh melakukan penilaian terhadap keadaan yang diamati. Bila ini dilakukan maka pembaca kalian akan kebingungan.

Kegiatan observasi terkait dengan pekerjaan memahami gambaran realitas serta detail-detail kejadian yang berlangsung. Untuk itu diperlukan upaya untuk memfokuskan amatan pada obyek-obyek yang tengah diamati.

Observasi memerlukan daya amatan yang kritis, luas, namun tetap tajam dalam mempelajari rincian obyek yang ada dihadapannya. Untuk mendapatkan amatan yang obyektif si pengamat mesti bisa untuk mengontrol emosional dan mampu menjaga jarak dengan segala rincian obyek yang diamati.

Dalam penggalian data melalui observasi ini sifatnya langsung dan orisinil. Langsung artinya, dalam amatannya tidak berdasarkan teori, pikiran, pendapat, ia menemukan langsung apa yang hendak dicarinya. Orisinil, artinya hasil amatannya merupakan hasil cerapan indranya, bukan yang dilaporkan orang lain.

BERTANYA KEPADA ORANG YANG SALAH BERAKIBAT PADA KEBENARAN DATA YANG KITA DAPAT
Kesalahan kedua adalam menanyakan alamat di Jogja kepada pramusaji rumah makan padang. Seperti halnya menanyakan masalah kerusakan komputer ke mahasiswa kehutanan, mungkin anda akan diberitahu bagaimana cara mendaur ulang komputer anda menjadi humus.

Jadi bertanyalah kepada orang yang selayaknya tahu atau kemungkian tahu. Yakni kepada orang yang melihat, mendengar, atau mengalami suatu peristiwa, atau dalam jurnalistik dikenal dengan narasumber lingkaran pertama.

Narasumber lingkaran kedua adalah orang yang mengetahui dari orang lain. Jauhi orang seperti ini, karena dia akan berkata “katanya-katanya-katanya”. Jangan langsung memasukan pernyataannya dalam tulisan anda, dan jangan sekali-kali mempercayai mereka tanpa klarifikasi dari pihak yang bersangkutan. Maka dari itu cukup terima informasi dari mereka sebagai petunjuk.

Narasumber lingkaran ketiga adalah pengamat. Yang harus dipastikan disini adalah kredibilitasnya sebagai seseorang yang mempunyai keilmuan dalam hal yang ingin anda tulis, atau cukup lihat gelarnya –kalau kalian ingin pragmatis-. Permasalahanya adalah di Indonesia banyak orang yang sok tau. Orang ketika mendengar berita korupsi, mereka lantas menjadi hakim dadakan, atau ketika melihat pertandingan sepak bola, menjadi pengamat jadi-jadian, hal seperti ini yang harus kalian hindari.

JANGAN MENGGURUI ORANG YANG KAMU TANYAI
Perlu diperhatikan bahwa wawancara bukanlah proses tanya jawab seperti ‘saya bertanya-anda menjawab’. Tidak sama dengan pertanyaan di dalam ruang perkuliahan, disana anda boleh membangun ide terlebih dulu, tapi disini tidak.

Wawancara lebih luas dari sekedar proses tanya jawab didalam kelas. Pewawancara dan yang diwawancarai berbagi pekerjaan ‘membangun ingatan’. Tujuan umumnya merekonstruksi kejadian yang, entah itu baru terjadi atau telah lampau.

Tipsnya ialah, bertanyalah dengan kalimat yang singkat. Cukup 8-12 suku kata. Kesalahan media mainstream kita –yang sering dipertontonkan- ialah menanyakan sesuatu dengan kalimat yang panjang. Ini berakibat pada memory dari narasumber kita akan semakin berkurang, dan berakibat dengan jawaban yang singkat dari narasumber kita.

SEMBAHLAH AKURASI
Untuk menggali data gunakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya terbuka. Ajukan pertanyaan 5W+1H berkali-kali, dengan formulasi yang berbeda-beda, sampai tidak ada lagi fakta yang bisa diperoleh di sumber informasi itu.
Penting dicermati akurasi setiap fakta yang diperoleh. Akurasi tidak hanya berkaitan dengan angka dalam pengertian jumlah maupun besaran. Akurasi juga mencakup cara penulisan nama, sebutan, cara mendeskripsikan warna, sosok, suasana, bahkan menuliskan ucapan dan sebagainya.
Ketidakcermatan, kelalaian atau kemalasan untuk melakukan cek ulang, merupakan sumber ketidakakuratan fakta. Ketidakakuratan berpotensi mengundang tuntutan hukum dari pihak yang merasa dirugikan oleh ketidakakuratan itu. Kalau anda tidak yakin lakukan cross-check ulang dari data yang diperoleh sebelumnya demi akurasi data.

OFF THE RECORD
Ini adalah saat kalian melindungi hak narasumber anda. Anda tidak boleh menulis kata-kata tersebut dalam terbitan. Sekalipun itu merupakan hal yang penting. Banyak wartawan mendapat teguran dari narasumbernya perihal hal ini.

Biasanya narasumber mengatakannya dalam hal informasi yang belum tentu benar atau bila itu diterbitkan mungkin akan merugikan pihak lain.

Namun anda dapat menjadikan hal tersebut sebagai info atau petunjuk, yakni dengan menanyakan hal tersebut kepada narasumber yang lain. Jadi ada sumber yang dapat dijadikan acuan.

JUJUR ITU PENTING, NAMUN DIKSI HARUS TETAP DIPERHATIKAN
Karena sifat dari pekerjaan ini adalah membangun ingatan dan mencari tahu, maka penting bagi anda untuk membangun trust kepada narasumber. Bila narasumber sudah merasa nyaman maka dia akan menceritakan segala hal yang anda ingin ketahui.

Trust ini dibangun dengan kejujuran dan akan rusak dengan kebohongan. Saran saya bila tidak diperlukan suatu kebohongan setidaknya anda lebih aman dengan berkata jujur.

Yang harus anda lakukan adalah memperkenalkan diri anda. Biasanya cukup nama dan dari terbitan mana anda berasal. Ini yang penting dan kadang terlewatkan. Selayaknya anda menjelaskan kepada narasumber motivasi anda mewawancarai dia.

Gunakan kata-kata yang baik dalam menjelaskan motivasi anda, pilih kata-kata yang tidak menyinggung perasaan narasumber anda. Seperti halnya anda menanyakan kronologis kecelakaan yang menewaskan seorang anak, kepada ibunya,  atau menanyakan tentang isu korupsi di dekanat kepada Dekannya, mungkin yang terjadi anda akan diusir dari ruang dekan dengan lemparan benda.

Ingat, tujuan anda disana adalah mencari tahu, bukan untuk menghukum orang, maka dalam hal tersebut anda tidak dapat lantas blak-blakkan,  maka dari itu anda harus berhati-hati dalam memilih kata-kata.

BERIKUT HAL-HAL YANG PENTING DAN BIASA TERABAIKAN
Buat janji bila perlu. Usahakan datang 10 menit sebelum waktu dijanjikan, waktu tersebut dapat anda gunakan untuk mempersiapkan diri;
Perkenalkan diri anda sebelum mengajukan pertanyaan. Ceritakan pula motif anda untuk mewawancarai mereka;
Jangan menyela pembicaraan;
Tatap narasumber, sebagai tanda anda menghormati jawaban mereka;
Gunakan alat perekam atau catat setiap kata-kata yang menurut anda penting;
 Mintalah nomor telephon yang bisa dihubungi dari narasumber anda, ini penting. Dengan hal ini anda bisa mengecek lagi setiap kata-kata yang pernah mereka ucapkan;
Segera salin hasil wawancara anda, hal ini sangat membantu karena ingatan anda masih segar untuk mengingat setiap kata-kata narasumber, jangan tunda-tunda.

GUNAKAN SEMUA SUMBER DAYA
Persiapkan segala sesuatu sebelm anda bepergian, kalau perlu cari peta sebelum bepergian, setidaknya anda tahu arah sebelum pergi, itu yang dilupakan mahasiswa PTS diatas.

Jangan merasa pintar. Bacalah data-data yang terkait dengan apa yang hendak anda tulis, apa lagi mengenai hal-hal yang bukan merupakan keahlian anda.

Misal mengenai masalah pertambangan. Anda tidak bisa langsung terjun kelapangan sebelum anda tahu seluk beluk mengenai pertambangan. Maka yang anda perlukan ialah study literatur terkait masalah tersebut.
Karena tingkat validitas data itu harus bisa dipertanggungjawabkan maka dalam pencarian data seorang jurnalis harus hati-hati memanfaatkan dokumentasi yang sudah ada.
Pemanfaatan data yang terdokumentasikan tidak terbatas pada undang-undang, atau peraturan lainnya. Hasil dari sebuah penelitian, berita di media, arsip, buku, juga bisa dijadikan sebagai data dokumen, tapi juga harus mempertimbangkan validitas dari data-data tersebut.

Senin, 07 November 2011

KORAN, DIMULAI DARI HAL YANG MUDAH

Ada baiknya memiliki teman yang suka berbicara, minimal tidak akan ada waktu dimana kita saling membisu. Tapi akan terasa menjengkelkan bila perbincangan itu berlarut-larut, hingga menghabiskan waktu. Terlebih yang ia ceritakan tentang hal-hal yang hanya penting untuk dirinya saja. Jeleknya lagi ia selalu mengulang-ulang ceritanya. Belum lagi tentang hal-hal yang tidak masuk akal yang ia ceritakan. “Wuaahhhhhh..!!!!” Mungkin menurut dia, saya adalah teman yang baik, tapi tidak bagi saya. Hanya masalah waktu hingga saya mengatakan, “Pak, saya berhenti langgalan koran bapak!”

Cerita diatas menggambarkan bagaimana koran menjadi teman bagi para pembacanya, dan bagaimana kualitas suatu terbitan penting agar pembaca bisa tetap setia.

Pernah saya membaca dalam suatu jurnal atau hal sejenis itu, terkait bagaimana awal mula koran itu terbentuk. Sekalipun saya meragukan tentang kebenaran cerita ini.

Saat ini, bisa dikata Amerika adalah negara maju dalam segala hal, namun Amerika pernah mengalami jaman dimana tidak ada keteraturan, jaman dimana senjata adalah nyawa, jaman yang tidak jauh berbeda dengan keadaan Timika akhir-akhir ini.

mungkin seperti ini
awal mula sebuah terbitan
Pemerintah Amerika menyadari, butuh waktu yang lama dan tenaga yang ekstra untuk menumpas kriminalisasi tersebut. Muncul gagasan untuk mengatasi itu. Bila sesama kriminal saling menumpas, maka jumlah mereka akan terus berkurang, itu ide utamanya.

Maka yang dilakukan pemerintah ialah memberi harga setiap kepala seorang kriminal sesuai tingkat kejahatannya. Usaha itu dilakukan dengan mengeluarkan edaran berjudul “WANTED” yang berisi gambar wajah, nama, dan nominal harga untuk kepala mereka.

Selebaran kemudian ditempel dipenjuru kota, di kedai minum, bahkan dipintu gereja. Ini berguna agar para pemburu uang atau kriminal yang lain dapat mengetahui harga buruannya dengan kata kawan seprofesinya. Tak jarang sesama pemburu saling buru untuk uang.

Berangsur-angsur selebaran itu menjadi tebal, karena memuat revisi untuk buruan yang sudah terpenggal. Lama kelamaan pemerintah menjadikan media ini untuk menyebarkan informasi penting bagi kalayak, tidak hanya tentang buronan.

Anda bisa tidak percaya atau membantah cerita diatas, pertama karena saya tidak menyebut sumbernya, kedua saya mengawali pembahasan dengan kata-kata keraguan.

Namun dalam hal ini yang hendak saya terangkan ialah bagaimana mudahnya membuat koran. Tanpa teori yang ribet, mereka mampu membuatnya.

Intinya, pertama anda harus jujur dalam memberikan informasi, termasuk sumber informasi. Karena kebohongan dalam sebuah informasi hanya akan menyesatkan pembaca dan pada akhirnya merugikan anda sendiri.

Kedua, adalah kebutuhan. Lihat dan cermati apa kebutuhan orang disekitar terkait informasi. Beri apa yang mereka mau, dan mereka akan membaca apa yang kamu tulis. Jangan beri orang berhobi musik tentang berita yudisial review.

Untuk koran komunitas ini menjadi mudah, anda cukup menulis apa yang menjadi fokus komunitas anda. Untuk media besar, mereka mengatasinya dengan menulis beberapa segmen berita, agar pembaca dapat memilih berita yang ia hendak baca.

Dalam hal ini jangan pula mengada-ada, atau mengarang berita yang sesuai dengan kesenangan pembaca. Akibatnya adalah pembaca akan suka eforianya, dan muntah pada akhirnya, karena informasi yang ia terima tipu-tipu belaka.

Ketiga, update informasi. Orang terkadang dikatakan pembohong ketika memberikan informasi. Tuduhan ini kadang timbul karena ia menyampaikan informasi yang tidak terupdate.

Memberi informasi lama sama dengan memberikan berita bohong. Anda harus berterus terang dan menyebutkan kapan anda mendapatkan informasi itu. Hal ini penting agar orang yang membaca mampu mengikuti keterbaruan berita.

Keempat, jangan terlalu panjang. Jaman kita saat ini adalah jaman menye-menye, jamanya film, foto dan hal renyah lainnya. Hal yang canggih dan modern. Tulisan panjang bukan kegeraman, tapi kemalasan untuk membacanya. Fokus untuk memberikan informasi atau pembaca akan segera membalik halaman untuk mencari promo susu balita, bagi ibu-ibu muda. Hilangkan opini dalam berita, itu akan memperingkas tulisan.

Kelima, anda bisa mencoba menulis berita di sekitar anda, saat ini juga. Tidak perlu gelar, pelatihan khusus atau ujian sebelum menulis, karena pada dasarnya kita semua adalah pewarta.

Sabtu, 29 Oktober 2011

PERJUANGAN DAN HAL PEMBEDA

Perjuangan untukku adalah semangat untuk meraih sesuatu. (Yogyakarya, 5 Oktober 2011).


Alasan bersenang-senang
Aku baru ingat, tepat pada tanggal tulisan ini terfikirkan, saudara perempuanku merayakan ulang tahunnya yang entah keberapa. Dikeluargaku, hal seperti ini memang bukan hal yang penting, jadi hal yang wajar bila kami tidak saling tahu berapa umur kami, kecuali kami sengaja menghitungnya, dan kadang itu pun salah. Kami hampir tidak pernah atau memang tidak pernah merayakan hal yang seperti ini, merayakan sesuatu yang sudah pasti akan terjadi –kalau masih hidup-. Untuk itu aku persembahkan tulisan ini untuk dirinya, semoga ia lekas dewasa.


roti untuk mengulang waktu kelahiran

Ulang tahun bukan merupakan sebuah perjuangan menurut kami. Hal itu akan terus berulang, dan berulang, dengan atau tanpa dikehendaki. Tanggal kelahiran itu akan terus terlewati seperti halnya roda akan kembali pada sisi yang sama setiap kali berputar 360 derajat. Anda mau menutup mata atau menjungkir balikan semua benda, waktu akan berputar hingga tanggal itu berulang kembali.


Perjuangan adalah seberapa besar usaha untuk mendapatkan apa yang hendak kamu capai. Maka hal ini akan selalu berjalan sejajar, antara usaha dengan pencapaian.


Perjudian tidak termasuk perjuangan, siapa saja bisa mendapatkan hasil. Mesin rolet, selalu berputar dan berhenti di satu titik. Tidak ada yang tau akan berhenti di posisi mana. Kita hanya diharuskan memilih, anak kecil bisa memilih, dan hanya ada 2 keadaan setelah mesin dinyalakan, anda menang atau uang anda melayang.


Kembali kedalam hal yang sia-sia. Lantas apa yang harus kita perbuat untuk hal tersebut? Merayakannya dengan alasan bertambah umur? Atau seperti sedikit banyak orang menunggu pendewasaan dalam umur seperti yang tampak dalam Kartu Tanda Penduduk, untuk memiliki legalitas mengendarai sepeda roda 2 atau 4?


Atau alasan religius. Tidak sedikit orang menggunakan alasan ini untuk bersenang-senang. Ini adalah bentuk puji syukur kata mereka, karena dipertemukan kembali dengan tanggal dimana kita dilahir, atau telah di beri keselamatan selama satu tahun.


Perjuangan untuk uang berawal dari uang
Tampaknya banyak ketidakadilan yang ada di sekitar kita, atau memang kedilan sudah tidak ada di sekitar kita? Mobil mewah bersliwerang di setiap sudut kota. Dari merek berhuruf tiga, hingga dengan nama yang sulit untuk dilafalkan. Apakah itu keadilan? Iya itu keadilan, mereka merdeka membeli segala apa yang diinginkan, karena mereka punya uang untuk membeli. Berbeda bagi orang yang tidak memiliki uang mereka tidak akan memiliki suatu apa untuk disandang.


Bila keadilan diartikan menempatkan sesuatu sesuai dengan porsinya mereka pantas mendapatkan itu. Manager digaji hingga puluhan juta tiap pekannya untuk duduk dan berfikir, mereka menanggung kelangsungan perusahaan yang menghidupi ribuan orang. Sementara tukang batu itu digaji ratusan ribu tiap bulannya, untuk menghidupi anak istrinya.


Tapi bagaimana mereka bisa berada dalam posisi itu? Ada yang jadi manager, ada yang jadi tukang batu. Apa mereka diturunkan dari surga kemudian mereka diletakkan dikursi yang empuk dan bisa diputar dan yang lain dikursi kayu yang harus jongkok untuk membuat nyaman.


Mereka berjuang untuk mendapatkan semua kenyamanan itu. Bersekolah, berlatih. Dan bila keadilan bisa dibenarkan lagi disini, alasan yang paling tepat adalah harus ada perjuangan untuk mendapatkan keadaan itu. Semakin mereka berusaha untuk mengeluarkan uang, semakin besar capaiannya.Bersekolah membutuhkan uang, maka pantas mereka menghasilkan uang juga. Memukul batu mungkin tidak perlu sekolah –tidak mengeluarkan uang-, berlatih cukup, mereka juga tidak akan menghasilkan cukup uang. Modal uang sama dengan hasil yang akan kita capai, kata ekonom busuk.


Dalam hal ini kalangan kita telah memaknai pendidikan secara formalitas belaka. Kata-kata pendidikan terbaik adalah dialam tentu tidak berguna lagi, kalau ijasah masih dijadikan hal terpenting dalam hidup, termasuk status sosial. Pendidikan kita telah dirancang sedemikian rupa dengan hirarki berbentuk piramida.. Untuk naik ke tingkatan piramida diatasnya harus ada uang yang dikorbankan.


Tapi bagaimana mereka bisa bersekolah? Mereka bersekolah karena orang tua mereka bersekolah juga. Karena orang tua mereka berpenghasilan juga, dan karena orang tua dari orang tua mereka juga bersekolah, dan juga berpenghasilan.


Lantas bagaimana dengan tukang batu itu? Mungkin dulu orang tua mereka tukang batu juga. Dan mungkin orang tua dari orang tua tukang batu itu, juga tukang batu juga.


Lantas bagaimana keadilan bisa terwujud kalo mereka selalu diletakan dalam keadaan yang serba kebetulan. Apa mereka diberi hak untuk memilih dilahirkan oleh pasangan bersekolah atau pasangan tukang batu? Apa kelahiran adalah perjudian? Kita tidak diharuskan memilih, tidak memilih juga diartikan memilih unutk diam.


Kalau ada tombol reset di kehidupan ini akan kutekan itu dan keadaan dalam posisi setara, namun itu hanya akan menjadi kisah film kartun semata. Anggap saja tidak ada hal yang penting didalam tulisan ini, karena ini tidak akan terjadi dan karena uang telah merampas perjuangan.


Tulisan dan Perjuangan Mengingat Jati Diri
Tulisan ini bukan bermaksud mendeskriditkan siapapun atau golongan manapun. Tidak bermasud juga mengata-ngatai orang yang berprilaku seperti yang saya gambarkan diatas. Anda tidak salah melakukan hal tersebut, kalian berhak untuk tetap melakukan hal tersebut dan saya hanya beropini terhadap yang anda lakukan.


Saya hanya manusia biasa, biasa dikatai aneh, biasa diangap remeh, biasa beropini gila. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menunjukan siapa saya, ini bukan bagian dari eksistensi, supaya dibilang bisa nulis, atau anggapan balas dendam karena rasa iri.


Saya menulis supaya tidak ada yang berubah dalam diri saya. Supaya saya tetap ingat siapa saya. Kalian punya banyak alasan untuk menulis dan saya punya alasan juga untuk tetap menulis.

Selasa, 21 Juni 2011

Sebuah Penghukuman dari IBLIS

cover film


Resensi dari film DEVIL


oleh. Fauzi Nasrul Maulana


Ide cerita yang sangat menarik, diambil dari sempalan surat dalam Injil. “Be sober, be vigilant; because your adversary the devil walks about like a roaring lion, seeking whom he may devour,” Peter , 5:8



Kalau boleh saya merangkum atau sekedar memberi gambaran tentang film ini, maka yang perlu anda lakukan ialah menyimaknya kemudian menyaksikan film itu sendiri, karena saya pikir anda tidak akan percaya dengan apa yang saya tulis ini.


Film yang sangat simple, dan saya yakin baik produser maupun sutradara tidak perlu repot-repot mencari tempat untuk shoting, karena dari awal hingga akhir, sorot kamera film ini tak lepas dari ruangan dalam lift dan ketegangan disekelilingnya, maka anda jangan bertanya-tanya film macam apa ini. Tapi yang patut dikagumi ialah dengan latar yang monoton sutradara berhasil membawa suasana menegang dalam diri penonton.


Ialah Detective Bowden yang menjadi tokoh utama. Seorang polisi yang kehilangan anak dan istrinya dalam kecelakaan tabrak lari yang tidak diketahui pelakunya. Aktor yang diperankan Chris Messina memiliki perawakan -baik dari potongan rambut maupun bentuk brewok- yang mirip dengan capten tim The Gunner Arsenal, Case Fabregas.


Diawali dari suatu kejadian bunuh diri seorang wanita setengah baya. Ia loncat dari gedung yang menjulang dengan menggenggam rosario ditangannya. Detective Bowden dan Detektive Markowitz yang diperankan Josh Peace, ditugaskan menyelidiki kasus bunuh diri ini.


Digedung yang sama tempat kejadian bunuh diri itu, muncul kejadian yang aneh. Sebuah lift yang tidak diketahui penyebabnya tiba-tiba tidak berfungsi ketika sedang naik keatas. Lima orang berada dalam lift tersebut. Kelimanya ialah seorang security yang baru bertugas di gedung itu, seorang selesman sebuah produk tempat tidur, seorang wanita yang belakangan diketahui sebagai klien dari advokad yang berkantor dalam gedung tersebut. Kemudian seorang pengangguran yang hendak ikut tes interview di salah satu perusahan digedung itu, dan seorang wanita tua pencopet.


Keadaan lift yang berhenti tiba-tiba menyebabkan ketegangan bagi orang yang berada didalamnya. Kelimanya saling bersitegan ketika terjadi yang yang dianggap aneh, seperti ketika si selesman bernyanyi lalu bersiul tidak karuan, atau bahkan ketika lampu dalam lift padam dan tiba-tiba wanita muda berteriak kesakitan ketika ada seseorang yang melukai punggungnya hingga menyerupai sayatan binatang buas. Tak seorang pun mengetahui pelakunya, sekalipun petugas yang memantau keadaan di dalam lift dengan camera. Kelimanya saling menuduh dan timbul kecurigaan satu sama lain.


suasana lift dimana salah satu orang jelmaan iblis yang mempunyai misi balas dendam di dunia
Keanehan dan ketegangan terus berlangsung dalam lift. Sementara teknisi gedung terus memeriksa penyebab tidak berfungsinya alat pengangkut tersebut, satu persatu orang didalam lift dibunuh dengan cara yang mengenaskan. Kronologisnya sama. Lampu padam, gelap, teriakan, dan ditemukan satu dari mereka bersungkur berlumuran darah dalam ruangan sempit.


Diakhir cerita baru terungkap fakta bahwa keempat orang yang berada dalam lift memiliki sebuah kesamaan, yakni pernah berbuat dosa dalam hidupnya. Hingga mereka dipersatukan dalam sebuah tempat, dengan satu IBLIS diantara mereka, yang menjelma menjadi satu diantara kelima orang tersebut.


Pembunuhan terus berlangsung, hingga tersisa satu pria, seorang pengangguran yang hendak mengikuti tes interview, yang diperakan Logan Marshall. Yang mencengankan ialah, dalam kasus pembunuhan diruang tertutup pelaku ialah seorang yang berada dalam ruang tersebut, tentu tuduhan mengarah kepada si pengangguran yang juga merupakan mekanik, tapi ternyata tidak. Bukan dia pelaku pembunuhan dalam lift, tapi dialah pelaku tabrak lari yang menewaskan istri dan anak perempuan Detective Bowden. Mereka dipertemukan bukan tanpa sebab, melainkan sebuah penghukuman dari IBLIS didunia. Demikian pula yang dialami para korban pembunuhan yang lain, mereka menerima hukuman didunia sebelum diadili oleh ALLAH.


Film yang bergenre horor ini mampu dikemas dengan apik dan memiliki sebuah pesan religius tentang penghukuman didunia. Tentu tanpa adegan panas dan terkesan fullgar seperti kebanyakan film hantu Indonesia. Bagi pengonsumi film horor, karya sutradara John Erick Dowdle ini patut dijadikan rujukan, tapi satu hal yang perlu diperhatikan, jangan banyak bertanya ketika melihat film ini, karena anda tidak akan menemukan jawaban dari pertanyaan anda tersebut.

Senin, 06 Juni 2011

Baik Oleh Si Rambut Hitam, Rambut Merah, Maupun Oleh Kaum Berdasi, Mereka Tetap Menjadi Yang Terjajah



Menarik sekali apa yang saya dapat dalam diskusi tentang Konflik Budaya dalam pertanahan. Banyak hal baru saya tangkap dalam diskusi singkat itu. Pola pikir baru adalah yang utama. Awalnya saya berfikir arah diskusi ini akan dibawa kearah bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam penanganan sengkate antara pihak masyarakat dengan investor, namun ternyata tidak. 1800 saya harus memutar otak untuk menyesuaikan diri dengan sudut pandang moderator dan para narasumber. Review yang saya kerjakan ini tidak menyimpang dari sudut pandang tersebut, namun tetap pada pola pikir yang saya kuasai.


BERAWAL DARI SEJARAH, permasalahan tanah tidak pernah lepas dari sengketa. Sejak jaman kerajaan, tanah sudah menjadi alasan untuk menimbulkan peperangan. Kekuasaan dan kehormatan dipertaruhkan disini. Semakin luas wilayah suatu kerajaan , maka semakin tinggi pula derajat dan nama baik tahta itu. Tak cukup disitu, luasnya penguasaan tanah juga menimbukan pemasukan kerajaan dalam sektor pajak yang berupa upeti yang dikumpulkan dari rakyat jelata. Dalam pemikiran ini, tanah diibaratkan dalam kekuasaan penuh raja. Tanah adalah milik raja, hingga setiap rakyat jelata berkewajiban membayar sewa atas tanah yang digarapnya. Sistem ini berlangsung hingga jaman penjajahan.


Tidak jauh beda dengan keadaan kerajaan, pada jaman penjajahan pun rakyat tetap ditekan dengan pajak-pajak atas tanah yang digarap. Hanya penggantian penguasa, dari yang berambut hitam, kemudian dikuasai si rambut merah. Cara-cara represif pun lebih keras diterapkan dalam jaman ini. Dari kerja rodi hingga tanam paksa, semuanya ditujukan untuk kekenyangan penguasa kala itu. Rakyat tetep tidak memiliki kedaulatan atas tanah.


Jaman pun terus berubah. Setelah jaman penjajahan usai, sesuatu kebebasan pun direngkuh dengan nama kemerdekaan. Hal yang identik dengan kebebasan untuk menentukan sendiri nasib suatu bangsa. Atas nama konstitusi, peraturan pun diciptakan. Mengaris bawahi makna kontrak sosial, dimana kepatuhan harus sudah tertanam sejak kita lahir dari perut ibu pertiwi.


Sejumlah peraturan pun lahir. Dengan ide menciptakan ketertiban dan segala embel-embel atas nama cita-cita kehidupan madani pun dipatuhi. Demikianpula atas dikeluarkannya UUPA. Undang-undang yang menagtur tentang penguasaan atas tanah. Tanah dalam UUPA dianggap sebagai aset yang bisa dipindah tangankan atas motif ekonomi. Akhirnya setiap orang di bumi pertiwi ini berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas, yakni tanah.


Hal tersebut yang terjadi di delta sungai Mahakam. Tepian sungai yang memiliki potensi besar bagi kehidupan. Bisa ditebak akan terjadi pergesekan sosial baik vertikal maupun horisontal. Bagi masyarakat sekitar, keadaan sungai yang mengalir deras dalam dua belas bulan sangat cocok bagi budidaya udang. Selain itu delta sungai ini juga memiliki kandungan minyak bumi yang tidak bisa dibilang tidak memiliki nilai ekonomis.


Hutan mangrove yang patut untuk dilindungi pun sedikit demi sedikit beralih fungsi. Masyarakat dengan insting bertahan hidup pun melakukan segala upaya untuk tetap eksis, salah satunya dengan mengupayakan tambak udang didelta Mahakam. Disisi lain pengeboran minyak bumi yang luar biasa merusak alam pun beroperasi.


Alhasil masyarakat tingkat rendah pun tertepikan. Selain oleh pengeboran yang luar biasa, serangan pemodal besar pun mulai menguasai tambak udang milik rakyat. Tidak dengan paksaan, atau kekerasan seperti jaman feodal, ini adalah keunggulan orang berdasi. Dengan tekanan kebutuhan akan nilai rupiah masyarakat sudah dengan senang hati menyerahkan penguasaan atas tanahnya. Demikian kejayaan masyarakat kecil akan penguasaan tanah sirna.


Hal ini seperti yang terjadi pada kaum petani. Kalau ditanya apa makanan pokok masyarakat Indonesia? Jawabanya cuma satu, nasi, selain sagu bagi masyarakat Indonesia timur. Namun dengan jumlah penduduk Indonesia yang luar biasas banyak bagaimana mungkin para petani tidak makmur?


Hal ini disebabkan petani di negeri agraris ini adalah buruh tani, dimana sawah yang mereka garap adalah milik tunggal tuan tanah yang hanya duduk berongkang-ongkang. Sehingga mereka harus berbagi hasil dengan tuan tanah. Tidak hanya itu. Reformasi hijau yang digalakan orde baru juga telah membuat petani tidak bisa memilih cara lain untuk berproduksi. Tanah yang dipupuk tiap hari enggan persemi menjadi padi bila tidak merasakan pupukan yang sama. Wereng yang saat ini dihadapi tidaklah sejinak wereng jaman dulu, diakibat semprotan peptisida yang menjadi kekebalan lambat tahun.


Petani sudah tidak bisa berbuat banyak. Mereka dipaksa untuk membeli pupuk sekalipun dengan harga selangit, karena tanpa pupuk tidak ada padi yang tumbuh, itu sama halnya membuat dapur tidak mengepul, tidak ada yang bisa dimakan.


Opsi untuk menaikan harga beras pun sama halnya dengan membuat beras mereka teronggok dalam gudang, hingga berjamur. Serangan beras impor menjadi sangat deras diakibatkan perdagangan bebas. Dengan harga yang relatif rendah namun dengan kualitas sama, konsemen cerdas pun memilih beras impor. Pemerintah telah berupaya maksimal, namun belum cukup untuk membantu petani dalam bersaing dengan produk impor, maka jangan salahkan pemerintah kita, karena mereka telah berupaya. Benarkah opini demikian?


Pilihan terakhir adalah menurunkan harga beras dalam negeri. Buruh tani tidak bisa bersaing. Itu opsi bijaksana yang diusulkan pemerintah (penjajah berdasi .read) agar dapur buruh tani tatap mengepul. Sekali lagi mereka tidak berkuasa atas tanah, tidak hanya dijaman kerajaan, penjajahan, di jaman kemerdekaan pun mereka masih terjajah.

Mahluk Relatif

Percayakah kalian dengan mahluk relatif? Jangan menaruh kesetiaan pada mahluk yang demikian. Mungkin benar kita harus percaya dengan mahluk yang statis dan kekal. Tapi adakah mahluk yang demikian?
pria tua yang tengah lelah


RASA TAKUT MERASUKIKU KETIKA MULAI MEMBONGKAR IDE INI. Aku takut inilah yang sebenarnya terjadi. Sangat beruntung bagi kalian yang masih memiliki rasa cinta atau tepatnya memiliki hati, mungkin si penulis tidak seberuntung kalian.


Mungkin inilah yang disebut perjalanan hidup. Panjang, hingga tak seorang pun tau ujung dari petualangan ini. Semoga ini hanyalah suatu tahapan ketika sekarang aku merasa tidak punya hati.


Seandainya ada gugatan tentang ide dalam tulisan ini, adalah wajar dan aku terima, karena ini bukan cerita romance yang biasanya terbingkai apik. Sebaliknya, ini adalah ide bagaimana seseorang bisa disebut kehilangan hati.


Aku tidak punya cinta sekarang. Bukan diartikan pacar, tapi rasa mencintai. Kalau ditanya memang aku tidak punya pacar. Bukannya tidak mampu menggaet wanita, hingga dikatakan penyuka sesama jenis, atau pacaranya Yogie Joel, lebih parah lagi dicap tidak laku. Tapi pertanyaannya mengapa harus punya pacar? Kalau sekedar teman wanita banyak. Perhatian mereka cukuplah menyamai apa itu pacar, bahkan ada yang lebih, sampai-sampai menjurus kearah posesif (sebut saja si Kartini). Anggap saja paragraf ini hanya sekedar pembelaan bagi kalian yang nganggap aku penyuka sesama jenis atau hal lainnya.


Ini bukan cerita curahan hati, dan aku tidak ingin tulisan ini berakhir dengan “kosongan”, harus ada ide. Sekalipun berat, karena semakin berfikir semakin aku yakin bahwa ada manusia yang tidak memiliki cinta.


Pacaran. Diawali dari seseorang mengungkapkan rasa cinta. Bahasa gaulnya nembak. Dalam budaya pergaulan -entah dari mana asalnya budaya ini atau mungkin ini menurun dari budaya patriarki- prialah yang biasa atau seharusnya melakukan penembakan ini. Saking prestisiusnya sempat ada acara di televisi yang memperlombakan acara penembakan ini. Meriah sekali.


Apa yang sebenarnya terjadi dalam penembakan itu? Iya, diawali dengan mengunggkapkan perasaan dari orang yang menembak. “I love you”, atau “aku cinta kamu”, kadang ada juga yang berkata “aku menyayangimu”, itu sederet ungkapan yang dilontarkan oleh sang pejuang –sebuatan si penembak dalam acara televisi itu-. Ketika cinta dianggap hal yang prestisius atau hal yang berharga, tinggi harkatnya, hingga menjadi hal wajar saja orang yang ingin mendapatannya disetarakan dengan para pahlawan, atau disebut “PEJUANG CINTA”.


Lantas apa selanjutnya, iya tepuk tangan merih. “Plok…Plok…Plok,” bersahut-sahutan. Tak jarang ada suara siul memeriahkan acara penembakan atau perjuangan itu. Itu terjadi bila cintanya diterima, kalau tidak bisa dibayangkan. Raut wajah akan berubah. Kadang menjadi gagap mendadak. Mata merah. Tak jarang ada yang meneteskan air mata bak pejuang kalah berperang.


Kemudian kisah cinta terjalin. Dengan status pacaran, mereka merasa legal untuk mengajak jalan bersama. Merasa sah ketika harus mencium pasangannya, atau memeluk dan tindakan yang lain. Mereka merasa benar ketika memarahi hingga memukul. Itu dianggap sebagai hukuman bagi pasangannya yang melakukan perselingkuhan atau berbuat yang tidak benar dengan parameter yang tidak jelas.


Kemudian kisah cinta berakhir. Dan pacaran harus disudahi ketika salah satu diantara mereka bilang sudah tidak cinta. Ibarat bayi yang baru lahir, mereka bak manusia yang suci, berkeinginan untuk memulai kehidupan baru yang ternyata ujung-ujungnya tak jauh beda. Gitu-gitu lagi.


Itulah yang sering terjadi dalam budaya jaman sekarang –tepatnya saya tidak tahu apakah dulu juga demikian-. Tapi ironis sekali, hal sebegitu abstruk bisa terjadi. Hanya bermodal ucapan sayang atau cinta kita meletakkan kesetiaan kepada mahluk yang relatif. Serba relatif, dari perasaan hingga ucapan, jangan ditanya perbuatannya.


Menjalin kesetiaan dengan mahluk yang relatif adalah hal yang mustahil. Mahluk relatif selalu berubah dan pasti akan berubah. Bagaimana bisa setia dengan hal yang relatif? Mungkin benar ketika kita patut setia kepada sang pencipta karena dia kekal dan statis. Sekalipun banyak kalangan masih sulit manerima keberadaan-Nya, minim sebagian orang menganggap itu nyata.


Mahluk relatif hanya setia pada kepentingannya. Jelas. Mungkin benar ketika tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 74 ialah mendapat keturunan. Hal tersebut sesuai kerelatifan manusia. Mustahil hal yang relatif bisa setia dengan hal relatif yang lain, tanpa ada tujuan yang sama.


“Lantas apa tujuan pacaran?”
“Kenapa harus pacaran?”
“Apa bedanya ketika pacaran atau tidak?”


Kalau tujuan pacaran hanya bersenang-senang, semua bisa bersenang-senang dengan atau tanpa status yang demikian rumit. Kalau hanya untuk pamer-pameran didepan kawan-kawan atau sobat-sobat apa hanya itu hakekatnya kita melepaskan kebebasan dan menaruh kesetiaan pada mahluk relatif? Aku kira adalah hal yang menderita ketika melakukan itu.


Kalau hanya untuk melegalkan dalam hal mengajak jalan atau bercinta, aku kita hal tersebut adalah gila, karena pada dasarnya tidak ada yang mengatur demikian. Sejak kapan orang hanya boleh mengajak jalan ketika hanya dalam status pacaran? Kalau dibilang ini kebudayaan, saya tidak terima dengan kegilaan semacam ini. Tapi jujur ini yang terjadi. Aku berada ditengah kegilaan.


Aku merasa menjadi orang yang aneh ditengah orang yang menggap cinta itu ada dan harus ada. Karena ketiadaan dalam keberadaan akan menjadi pembeda dalam suatu kelompok. Dan itu aku.