Selasa, 21 Juni 2011

Sebuah Penghukuman dari IBLIS

cover film


Resensi dari film DEVIL


oleh. Fauzi Nasrul Maulana


Ide cerita yang sangat menarik, diambil dari sempalan surat dalam Injil. “Be sober, be vigilant; because your adversary the devil walks about like a roaring lion, seeking whom he may devour,” Peter , 5:8



Kalau boleh saya merangkum atau sekedar memberi gambaran tentang film ini, maka yang perlu anda lakukan ialah menyimaknya kemudian menyaksikan film itu sendiri, karena saya pikir anda tidak akan percaya dengan apa yang saya tulis ini.


Film yang sangat simple, dan saya yakin baik produser maupun sutradara tidak perlu repot-repot mencari tempat untuk shoting, karena dari awal hingga akhir, sorot kamera film ini tak lepas dari ruangan dalam lift dan ketegangan disekelilingnya, maka anda jangan bertanya-tanya film macam apa ini. Tapi yang patut dikagumi ialah dengan latar yang monoton sutradara berhasil membawa suasana menegang dalam diri penonton.


Ialah Detective Bowden yang menjadi tokoh utama. Seorang polisi yang kehilangan anak dan istrinya dalam kecelakaan tabrak lari yang tidak diketahui pelakunya. Aktor yang diperankan Chris Messina memiliki perawakan -baik dari potongan rambut maupun bentuk brewok- yang mirip dengan capten tim The Gunner Arsenal, Case Fabregas.


Diawali dari suatu kejadian bunuh diri seorang wanita setengah baya. Ia loncat dari gedung yang menjulang dengan menggenggam rosario ditangannya. Detective Bowden dan Detektive Markowitz yang diperankan Josh Peace, ditugaskan menyelidiki kasus bunuh diri ini.


Digedung yang sama tempat kejadian bunuh diri itu, muncul kejadian yang aneh. Sebuah lift yang tidak diketahui penyebabnya tiba-tiba tidak berfungsi ketika sedang naik keatas. Lima orang berada dalam lift tersebut. Kelimanya ialah seorang security yang baru bertugas di gedung itu, seorang selesman sebuah produk tempat tidur, seorang wanita yang belakangan diketahui sebagai klien dari advokad yang berkantor dalam gedung tersebut. Kemudian seorang pengangguran yang hendak ikut tes interview di salah satu perusahan digedung itu, dan seorang wanita tua pencopet.


Keadaan lift yang berhenti tiba-tiba menyebabkan ketegangan bagi orang yang berada didalamnya. Kelimanya saling bersitegan ketika terjadi yang yang dianggap aneh, seperti ketika si selesman bernyanyi lalu bersiul tidak karuan, atau bahkan ketika lampu dalam lift padam dan tiba-tiba wanita muda berteriak kesakitan ketika ada seseorang yang melukai punggungnya hingga menyerupai sayatan binatang buas. Tak seorang pun mengetahui pelakunya, sekalipun petugas yang memantau keadaan di dalam lift dengan camera. Kelimanya saling menuduh dan timbul kecurigaan satu sama lain.


suasana lift dimana salah satu orang jelmaan iblis yang mempunyai misi balas dendam di dunia
Keanehan dan ketegangan terus berlangsung dalam lift. Sementara teknisi gedung terus memeriksa penyebab tidak berfungsinya alat pengangkut tersebut, satu persatu orang didalam lift dibunuh dengan cara yang mengenaskan. Kronologisnya sama. Lampu padam, gelap, teriakan, dan ditemukan satu dari mereka bersungkur berlumuran darah dalam ruangan sempit.


Diakhir cerita baru terungkap fakta bahwa keempat orang yang berada dalam lift memiliki sebuah kesamaan, yakni pernah berbuat dosa dalam hidupnya. Hingga mereka dipersatukan dalam sebuah tempat, dengan satu IBLIS diantara mereka, yang menjelma menjadi satu diantara kelima orang tersebut.


Pembunuhan terus berlangsung, hingga tersisa satu pria, seorang pengangguran yang hendak mengikuti tes interview, yang diperakan Logan Marshall. Yang mencengankan ialah, dalam kasus pembunuhan diruang tertutup pelaku ialah seorang yang berada dalam ruang tersebut, tentu tuduhan mengarah kepada si pengangguran yang juga merupakan mekanik, tapi ternyata tidak. Bukan dia pelaku pembunuhan dalam lift, tapi dialah pelaku tabrak lari yang menewaskan istri dan anak perempuan Detective Bowden. Mereka dipertemukan bukan tanpa sebab, melainkan sebuah penghukuman dari IBLIS didunia. Demikian pula yang dialami para korban pembunuhan yang lain, mereka menerima hukuman didunia sebelum diadili oleh ALLAH.


Film yang bergenre horor ini mampu dikemas dengan apik dan memiliki sebuah pesan religius tentang penghukuman didunia. Tentu tanpa adegan panas dan terkesan fullgar seperti kebanyakan film hantu Indonesia. Bagi pengonsumi film horor, karya sutradara John Erick Dowdle ini patut dijadikan rujukan, tapi satu hal yang perlu diperhatikan, jangan banyak bertanya ketika melihat film ini, karena anda tidak akan menemukan jawaban dari pertanyaan anda tersebut.

Senin, 06 Juni 2011

Baik Oleh Si Rambut Hitam, Rambut Merah, Maupun Oleh Kaum Berdasi, Mereka Tetap Menjadi Yang Terjajah



Menarik sekali apa yang saya dapat dalam diskusi tentang Konflik Budaya dalam pertanahan. Banyak hal baru saya tangkap dalam diskusi singkat itu. Pola pikir baru adalah yang utama. Awalnya saya berfikir arah diskusi ini akan dibawa kearah bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam penanganan sengkate antara pihak masyarakat dengan investor, namun ternyata tidak. 1800 saya harus memutar otak untuk menyesuaikan diri dengan sudut pandang moderator dan para narasumber. Review yang saya kerjakan ini tidak menyimpang dari sudut pandang tersebut, namun tetap pada pola pikir yang saya kuasai.


BERAWAL DARI SEJARAH, permasalahan tanah tidak pernah lepas dari sengketa. Sejak jaman kerajaan, tanah sudah menjadi alasan untuk menimbulkan peperangan. Kekuasaan dan kehormatan dipertaruhkan disini. Semakin luas wilayah suatu kerajaan , maka semakin tinggi pula derajat dan nama baik tahta itu. Tak cukup disitu, luasnya penguasaan tanah juga menimbukan pemasukan kerajaan dalam sektor pajak yang berupa upeti yang dikumpulkan dari rakyat jelata. Dalam pemikiran ini, tanah diibaratkan dalam kekuasaan penuh raja. Tanah adalah milik raja, hingga setiap rakyat jelata berkewajiban membayar sewa atas tanah yang digarapnya. Sistem ini berlangsung hingga jaman penjajahan.


Tidak jauh beda dengan keadaan kerajaan, pada jaman penjajahan pun rakyat tetap ditekan dengan pajak-pajak atas tanah yang digarap. Hanya penggantian penguasa, dari yang berambut hitam, kemudian dikuasai si rambut merah. Cara-cara represif pun lebih keras diterapkan dalam jaman ini. Dari kerja rodi hingga tanam paksa, semuanya ditujukan untuk kekenyangan penguasa kala itu. Rakyat tetep tidak memiliki kedaulatan atas tanah.


Jaman pun terus berubah. Setelah jaman penjajahan usai, sesuatu kebebasan pun direngkuh dengan nama kemerdekaan. Hal yang identik dengan kebebasan untuk menentukan sendiri nasib suatu bangsa. Atas nama konstitusi, peraturan pun diciptakan. Mengaris bawahi makna kontrak sosial, dimana kepatuhan harus sudah tertanam sejak kita lahir dari perut ibu pertiwi.


Sejumlah peraturan pun lahir. Dengan ide menciptakan ketertiban dan segala embel-embel atas nama cita-cita kehidupan madani pun dipatuhi. Demikianpula atas dikeluarkannya UUPA. Undang-undang yang menagtur tentang penguasaan atas tanah. Tanah dalam UUPA dianggap sebagai aset yang bisa dipindah tangankan atas motif ekonomi. Akhirnya setiap orang di bumi pertiwi ini berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas, yakni tanah.


Hal tersebut yang terjadi di delta sungai Mahakam. Tepian sungai yang memiliki potensi besar bagi kehidupan. Bisa ditebak akan terjadi pergesekan sosial baik vertikal maupun horisontal. Bagi masyarakat sekitar, keadaan sungai yang mengalir deras dalam dua belas bulan sangat cocok bagi budidaya udang. Selain itu delta sungai ini juga memiliki kandungan minyak bumi yang tidak bisa dibilang tidak memiliki nilai ekonomis.


Hutan mangrove yang patut untuk dilindungi pun sedikit demi sedikit beralih fungsi. Masyarakat dengan insting bertahan hidup pun melakukan segala upaya untuk tetap eksis, salah satunya dengan mengupayakan tambak udang didelta Mahakam. Disisi lain pengeboran minyak bumi yang luar biasa merusak alam pun beroperasi.


Alhasil masyarakat tingkat rendah pun tertepikan. Selain oleh pengeboran yang luar biasa, serangan pemodal besar pun mulai menguasai tambak udang milik rakyat. Tidak dengan paksaan, atau kekerasan seperti jaman feodal, ini adalah keunggulan orang berdasi. Dengan tekanan kebutuhan akan nilai rupiah masyarakat sudah dengan senang hati menyerahkan penguasaan atas tanahnya. Demikian kejayaan masyarakat kecil akan penguasaan tanah sirna.


Hal ini seperti yang terjadi pada kaum petani. Kalau ditanya apa makanan pokok masyarakat Indonesia? Jawabanya cuma satu, nasi, selain sagu bagi masyarakat Indonesia timur. Namun dengan jumlah penduduk Indonesia yang luar biasas banyak bagaimana mungkin para petani tidak makmur?


Hal ini disebabkan petani di negeri agraris ini adalah buruh tani, dimana sawah yang mereka garap adalah milik tunggal tuan tanah yang hanya duduk berongkang-ongkang. Sehingga mereka harus berbagi hasil dengan tuan tanah. Tidak hanya itu. Reformasi hijau yang digalakan orde baru juga telah membuat petani tidak bisa memilih cara lain untuk berproduksi. Tanah yang dipupuk tiap hari enggan persemi menjadi padi bila tidak merasakan pupukan yang sama. Wereng yang saat ini dihadapi tidaklah sejinak wereng jaman dulu, diakibat semprotan peptisida yang menjadi kekebalan lambat tahun.


Petani sudah tidak bisa berbuat banyak. Mereka dipaksa untuk membeli pupuk sekalipun dengan harga selangit, karena tanpa pupuk tidak ada padi yang tumbuh, itu sama halnya membuat dapur tidak mengepul, tidak ada yang bisa dimakan.


Opsi untuk menaikan harga beras pun sama halnya dengan membuat beras mereka teronggok dalam gudang, hingga berjamur. Serangan beras impor menjadi sangat deras diakibatkan perdagangan bebas. Dengan harga yang relatif rendah namun dengan kualitas sama, konsemen cerdas pun memilih beras impor. Pemerintah telah berupaya maksimal, namun belum cukup untuk membantu petani dalam bersaing dengan produk impor, maka jangan salahkan pemerintah kita, karena mereka telah berupaya. Benarkah opini demikian?


Pilihan terakhir adalah menurunkan harga beras dalam negeri. Buruh tani tidak bisa bersaing. Itu opsi bijaksana yang diusulkan pemerintah (penjajah berdasi .read) agar dapur buruh tani tatap mengepul. Sekali lagi mereka tidak berkuasa atas tanah, tidak hanya dijaman kerajaan, penjajahan, di jaman kemerdekaan pun mereka masih terjajah.

Mahluk Relatif

Percayakah kalian dengan mahluk relatif? Jangan menaruh kesetiaan pada mahluk yang demikian. Mungkin benar kita harus percaya dengan mahluk yang statis dan kekal. Tapi adakah mahluk yang demikian?
pria tua yang tengah lelah


RASA TAKUT MERASUKIKU KETIKA MULAI MEMBONGKAR IDE INI. Aku takut inilah yang sebenarnya terjadi. Sangat beruntung bagi kalian yang masih memiliki rasa cinta atau tepatnya memiliki hati, mungkin si penulis tidak seberuntung kalian.


Mungkin inilah yang disebut perjalanan hidup. Panjang, hingga tak seorang pun tau ujung dari petualangan ini. Semoga ini hanyalah suatu tahapan ketika sekarang aku merasa tidak punya hati.


Seandainya ada gugatan tentang ide dalam tulisan ini, adalah wajar dan aku terima, karena ini bukan cerita romance yang biasanya terbingkai apik. Sebaliknya, ini adalah ide bagaimana seseorang bisa disebut kehilangan hati.


Aku tidak punya cinta sekarang. Bukan diartikan pacar, tapi rasa mencintai. Kalau ditanya memang aku tidak punya pacar. Bukannya tidak mampu menggaet wanita, hingga dikatakan penyuka sesama jenis, atau pacaranya Yogie Joel, lebih parah lagi dicap tidak laku. Tapi pertanyaannya mengapa harus punya pacar? Kalau sekedar teman wanita banyak. Perhatian mereka cukuplah menyamai apa itu pacar, bahkan ada yang lebih, sampai-sampai menjurus kearah posesif (sebut saja si Kartini). Anggap saja paragraf ini hanya sekedar pembelaan bagi kalian yang nganggap aku penyuka sesama jenis atau hal lainnya.


Ini bukan cerita curahan hati, dan aku tidak ingin tulisan ini berakhir dengan “kosongan”, harus ada ide. Sekalipun berat, karena semakin berfikir semakin aku yakin bahwa ada manusia yang tidak memiliki cinta.


Pacaran. Diawali dari seseorang mengungkapkan rasa cinta. Bahasa gaulnya nembak. Dalam budaya pergaulan -entah dari mana asalnya budaya ini atau mungkin ini menurun dari budaya patriarki- prialah yang biasa atau seharusnya melakukan penembakan ini. Saking prestisiusnya sempat ada acara di televisi yang memperlombakan acara penembakan ini. Meriah sekali.


Apa yang sebenarnya terjadi dalam penembakan itu? Iya, diawali dengan mengunggkapkan perasaan dari orang yang menembak. “I love you”, atau “aku cinta kamu”, kadang ada juga yang berkata “aku menyayangimu”, itu sederet ungkapan yang dilontarkan oleh sang pejuang –sebuatan si penembak dalam acara televisi itu-. Ketika cinta dianggap hal yang prestisius atau hal yang berharga, tinggi harkatnya, hingga menjadi hal wajar saja orang yang ingin mendapatannya disetarakan dengan para pahlawan, atau disebut “PEJUANG CINTA”.


Lantas apa selanjutnya, iya tepuk tangan merih. “Plok…Plok…Plok,” bersahut-sahutan. Tak jarang ada suara siul memeriahkan acara penembakan atau perjuangan itu. Itu terjadi bila cintanya diterima, kalau tidak bisa dibayangkan. Raut wajah akan berubah. Kadang menjadi gagap mendadak. Mata merah. Tak jarang ada yang meneteskan air mata bak pejuang kalah berperang.


Kemudian kisah cinta terjalin. Dengan status pacaran, mereka merasa legal untuk mengajak jalan bersama. Merasa sah ketika harus mencium pasangannya, atau memeluk dan tindakan yang lain. Mereka merasa benar ketika memarahi hingga memukul. Itu dianggap sebagai hukuman bagi pasangannya yang melakukan perselingkuhan atau berbuat yang tidak benar dengan parameter yang tidak jelas.


Kemudian kisah cinta berakhir. Dan pacaran harus disudahi ketika salah satu diantara mereka bilang sudah tidak cinta. Ibarat bayi yang baru lahir, mereka bak manusia yang suci, berkeinginan untuk memulai kehidupan baru yang ternyata ujung-ujungnya tak jauh beda. Gitu-gitu lagi.


Itulah yang sering terjadi dalam budaya jaman sekarang –tepatnya saya tidak tahu apakah dulu juga demikian-. Tapi ironis sekali, hal sebegitu abstruk bisa terjadi. Hanya bermodal ucapan sayang atau cinta kita meletakkan kesetiaan kepada mahluk yang relatif. Serba relatif, dari perasaan hingga ucapan, jangan ditanya perbuatannya.


Menjalin kesetiaan dengan mahluk yang relatif adalah hal yang mustahil. Mahluk relatif selalu berubah dan pasti akan berubah. Bagaimana bisa setia dengan hal yang relatif? Mungkin benar ketika kita patut setia kepada sang pencipta karena dia kekal dan statis. Sekalipun banyak kalangan masih sulit manerima keberadaan-Nya, minim sebagian orang menganggap itu nyata.


Mahluk relatif hanya setia pada kepentingannya. Jelas. Mungkin benar ketika tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 74 ialah mendapat keturunan. Hal tersebut sesuai kerelatifan manusia. Mustahil hal yang relatif bisa setia dengan hal relatif yang lain, tanpa ada tujuan yang sama.


“Lantas apa tujuan pacaran?”
“Kenapa harus pacaran?”
“Apa bedanya ketika pacaran atau tidak?”


Kalau tujuan pacaran hanya bersenang-senang, semua bisa bersenang-senang dengan atau tanpa status yang demikian rumit. Kalau hanya untuk pamer-pameran didepan kawan-kawan atau sobat-sobat apa hanya itu hakekatnya kita melepaskan kebebasan dan menaruh kesetiaan pada mahluk relatif? Aku kira adalah hal yang menderita ketika melakukan itu.


Kalau hanya untuk melegalkan dalam hal mengajak jalan atau bercinta, aku kita hal tersebut adalah gila, karena pada dasarnya tidak ada yang mengatur demikian. Sejak kapan orang hanya boleh mengajak jalan ketika hanya dalam status pacaran? Kalau dibilang ini kebudayaan, saya tidak terima dengan kegilaan semacam ini. Tapi jujur ini yang terjadi. Aku berada ditengah kegilaan.


Aku merasa menjadi orang yang aneh ditengah orang yang menggap cinta itu ada dan harus ada. Karena ketiadaan dalam keberadaan akan menjadi pembeda dalam suatu kelompok. Dan itu aku.

Kasihani Kartini




Kasiani Kartini, bagi kalian (wanita.red) yang memuja pria dengan kemapanannya dengan mengorbankan kebebasan dan kesenangan diri kalian sendiri. Ini adalah pemikiran kebebasan yang hanya memuja apa yang diambisikan, melupakan segala yang bersifat kenyamanan dan kekenyangan atas duniawi.

SIAPA TAK MENGENAL NAMANYA. R.A. Kartini atau seharusnya disebut dengan Raden Ayu Kartini, wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879. Namanya diagungkan menjadi pelopor emansipasi wanita. Setiap kali ada isu perempuan yang termarginalkan namanya selalu masuk dalam artikel surat kabar, masuk dalam dengungan microphone yang menyeru di tv dan radio.

Bagaimana  menjadi seorang Kartini? Tidak sulit, cukup menulis surat tentang keluhkesahmu atau penderitaanmu yang kamu alami di Negeri Kasian ini, kemudian kirim kesahabat mu di luar negeri. Benar, itu yang dilakukan Kartini dulu.  Tapi menjadi hal yang percuma bila itu hendak kamu lakukan dijaman ini. Tidak perlu menulis surat,toh orang luar sudah tau betapa kasiannya kita di Negeri ini.

Dijaman dulu orang-orang (wanita jawa.red) tidak mengetahui atau menyadari apa yang diri mereka alami. Budaya patriarki, budaya yang meletakan pria sebagai mahluk yang super dan wanita sebagai subordinansi atas kekuatan pria. Kekuasaan pria menjadi hal yang lumrah, didukung dengan adat-adat jawa lainnya, itu telah menjadi hal yang sempurna sebagai alat menindas wanita dalam perkawinan.

Dapur, sumur dan kasur, itu yang menjadi pekerjaan mereka. Menyiapkkan makanan, membersihkan apa yang kotor, dan melayani suaminya dalam hal kepuasan birahi. Hal tersebut mereka lakukan secara sadar, tak perlu perintah, tak perlu seruan. Justru mereka akan sedih bila itu tidak mereka lakukan, lebih-lebih untuk urusan kasur.

Dijaman sekarang ternyata tidak jauh berbeda. Wanita tetap menjadi subordinansi atas kekuasaan pria. Mereka patuh, tunduk terhadap pria. Ini bukan jaman Romeo atau Juliet. Yang setia atas dasar kasih dan sayang. “Pretttt…!!!”  (mungkin ada yang demikian)

Pekerjaan mereka tidak lagi dapur, sumur, kasur. Mungkin dapur menjadi hal yang rumit dan makan di mall atau café -tempat makan yang tidak memberikan keadilan dalam hal materi- yang menyajikan kenyamanan menjadi hal yang mengasikan bagi mereka.

Sumur??? Mereka mempunyai spa dan seperangkat peralatan wajah itu hal yang utama dalam urusan bersih-bersih bagi mereka. Tidak perlu berih-bersih rumah atau lainnya, sudah ada sistem kerja yang bertugas untuk itu. Mereka hanya tinggal merawat wajah dan bagian tubuh lain. Entah itu lifestyleatau modal mereka kedepan untuk mendapatkan kemapanan dalam dompet pria.

Untuk urusan kasur, tidak perlu ditanya.  Kadang itu menjadi alat pelumas keluarnya rupiah dari dompet pria. Entah dengan model pelacuran (bagi yang melakukan diluar hubungan perkawinan) atau jenis lainnya.

Mereka telah melupakan kebudayaan, mereka berani menentang tirani berbentuk kebudayaan. Mereka siap berkompetisi dengan lawan jenis. Namun dalam hal kepatuhan tidak berubah. Yang berbeda adalah landasan kepatuhan itu. Kepatuhan yang didasari kemapanan dan kenyamanan yang telah mereka peroleh.

Kasiani Kartini, sekalipun  ia berhasil –atau orang lain yang menbuat idenya berhasil- membongkar budaya patriarki ternyata itu tidak membuat hal yang berbeda, tetap saja para wanita menundukan diri dalam tirani lelaki dengan nama kemapanan dan kekenyangan atas duniawi.