Senin, 06 Juni 2011

Baik Oleh Si Rambut Hitam, Rambut Merah, Maupun Oleh Kaum Berdasi, Mereka Tetap Menjadi Yang Terjajah



Menarik sekali apa yang saya dapat dalam diskusi tentang Konflik Budaya dalam pertanahan. Banyak hal baru saya tangkap dalam diskusi singkat itu. Pola pikir baru adalah yang utama. Awalnya saya berfikir arah diskusi ini akan dibawa kearah bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam penanganan sengkate antara pihak masyarakat dengan investor, namun ternyata tidak. 1800 saya harus memutar otak untuk menyesuaikan diri dengan sudut pandang moderator dan para narasumber. Review yang saya kerjakan ini tidak menyimpang dari sudut pandang tersebut, namun tetap pada pola pikir yang saya kuasai.


BERAWAL DARI SEJARAH, permasalahan tanah tidak pernah lepas dari sengketa. Sejak jaman kerajaan, tanah sudah menjadi alasan untuk menimbulkan peperangan. Kekuasaan dan kehormatan dipertaruhkan disini. Semakin luas wilayah suatu kerajaan , maka semakin tinggi pula derajat dan nama baik tahta itu. Tak cukup disitu, luasnya penguasaan tanah juga menimbukan pemasukan kerajaan dalam sektor pajak yang berupa upeti yang dikumpulkan dari rakyat jelata. Dalam pemikiran ini, tanah diibaratkan dalam kekuasaan penuh raja. Tanah adalah milik raja, hingga setiap rakyat jelata berkewajiban membayar sewa atas tanah yang digarapnya. Sistem ini berlangsung hingga jaman penjajahan.


Tidak jauh beda dengan keadaan kerajaan, pada jaman penjajahan pun rakyat tetap ditekan dengan pajak-pajak atas tanah yang digarap. Hanya penggantian penguasa, dari yang berambut hitam, kemudian dikuasai si rambut merah. Cara-cara represif pun lebih keras diterapkan dalam jaman ini. Dari kerja rodi hingga tanam paksa, semuanya ditujukan untuk kekenyangan penguasa kala itu. Rakyat tetep tidak memiliki kedaulatan atas tanah.


Jaman pun terus berubah. Setelah jaman penjajahan usai, sesuatu kebebasan pun direngkuh dengan nama kemerdekaan. Hal yang identik dengan kebebasan untuk menentukan sendiri nasib suatu bangsa. Atas nama konstitusi, peraturan pun diciptakan. Mengaris bawahi makna kontrak sosial, dimana kepatuhan harus sudah tertanam sejak kita lahir dari perut ibu pertiwi.


Sejumlah peraturan pun lahir. Dengan ide menciptakan ketertiban dan segala embel-embel atas nama cita-cita kehidupan madani pun dipatuhi. Demikianpula atas dikeluarkannya UUPA. Undang-undang yang menagtur tentang penguasaan atas tanah. Tanah dalam UUPA dianggap sebagai aset yang bisa dipindah tangankan atas motif ekonomi. Akhirnya setiap orang di bumi pertiwi ini berlomba-lomba untuk menguasai sumber daya yang jumlahnya sangat terbatas, yakni tanah.


Hal tersebut yang terjadi di delta sungai Mahakam. Tepian sungai yang memiliki potensi besar bagi kehidupan. Bisa ditebak akan terjadi pergesekan sosial baik vertikal maupun horisontal. Bagi masyarakat sekitar, keadaan sungai yang mengalir deras dalam dua belas bulan sangat cocok bagi budidaya udang. Selain itu delta sungai ini juga memiliki kandungan minyak bumi yang tidak bisa dibilang tidak memiliki nilai ekonomis.


Hutan mangrove yang patut untuk dilindungi pun sedikit demi sedikit beralih fungsi. Masyarakat dengan insting bertahan hidup pun melakukan segala upaya untuk tetap eksis, salah satunya dengan mengupayakan tambak udang didelta Mahakam. Disisi lain pengeboran minyak bumi yang luar biasa merusak alam pun beroperasi.


Alhasil masyarakat tingkat rendah pun tertepikan. Selain oleh pengeboran yang luar biasa, serangan pemodal besar pun mulai menguasai tambak udang milik rakyat. Tidak dengan paksaan, atau kekerasan seperti jaman feodal, ini adalah keunggulan orang berdasi. Dengan tekanan kebutuhan akan nilai rupiah masyarakat sudah dengan senang hati menyerahkan penguasaan atas tanahnya. Demikian kejayaan masyarakat kecil akan penguasaan tanah sirna.


Hal ini seperti yang terjadi pada kaum petani. Kalau ditanya apa makanan pokok masyarakat Indonesia? Jawabanya cuma satu, nasi, selain sagu bagi masyarakat Indonesia timur. Namun dengan jumlah penduduk Indonesia yang luar biasas banyak bagaimana mungkin para petani tidak makmur?


Hal ini disebabkan petani di negeri agraris ini adalah buruh tani, dimana sawah yang mereka garap adalah milik tunggal tuan tanah yang hanya duduk berongkang-ongkang. Sehingga mereka harus berbagi hasil dengan tuan tanah. Tidak hanya itu. Reformasi hijau yang digalakan orde baru juga telah membuat petani tidak bisa memilih cara lain untuk berproduksi. Tanah yang dipupuk tiap hari enggan persemi menjadi padi bila tidak merasakan pupukan yang sama. Wereng yang saat ini dihadapi tidaklah sejinak wereng jaman dulu, diakibat semprotan peptisida yang menjadi kekebalan lambat tahun.


Petani sudah tidak bisa berbuat banyak. Mereka dipaksa untuk membeli pupuk sekalipun dengan harga selangit, karena tanpa pupuk tidak ada padi yang tumbuh, itu sama halnya membuat dapur tidak mengepul, tidak ada yang bisa dimakan.


Opsi untuk menaikan harga beras pun sama halnya dengan membuat beras mereka teronggok dalam gudang, hingga berjamur. Serangan beras impor menjadi sangat deras diakibatkan perdagangan bebas. Dengan harga yang relatif rendah namun dengan kualitas sama, konsemen cerdas pun memilih beras impor. Pemerintah telah berupaya maksimal, namun belum cukup untuk membantu petani dalam bersaing dengan produk impor, maka jangan salahkan pemerintah kita, karena mereka telah berupaya. Benarkah opini demikian?


Pilihan terakhir adalah menurunkan harga beras dalam negeri. Buruh tani tidak bisa bersaing. Itu opsi bijaksana yang diusulkan pemerintah (penjajah berdasi .read) agar dapur buruh tani tatap mengepul. Sekali lagi mereka tidak berkuasa atas tanah, tidak hanya dijaman kerajaan, penjajahan, di jaman kemerdekaan pun mereka masih terjajah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar