Rabu, 23 November 2011

Ahmadiyah, dan Masyarakat Kita

6 September 2010. Dalam sebuah perbincangan di kereta Prambanan Ekspres dari Yogyakarta tujuan Solo aku mendapati keyataan yang mengherankan.

Kereta keberangkatan pukul 14.39 WIB dari Stasiun Lempuyangan memiliki sit 2-2 dan 3-3 yang berhadapan. Aku duduk dalam sit 2-2. Dihadapanku ada wanita berjilbab, setelah aku berkenalan, namanya Rosita. Di sebelah aku diduduki lelaki yang mengenakan kemeja salah satu proveider swasta, ia memangku tas jinjing, dan memilih melihat ke arah luar jendela. Sampai akhir perjalanan aku pun belum sempat berkenalan dengannya.

Rosita Alim Hidayat. Jebolan salah satu pesantren di Solo ini memilih untuk meneruskan pendidikan S-1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Negeri Yogyakarta bahkan sekarang sedang menempuh pendidikan S-2 di Universitas yang sama. Dalam usia 25 tahun, Rosita telah menjadi dosen untuk matakuliah pendidikan matematikan di FKIP Universitas Sarjana Wiyata, Yogyakarta. Sekalipun aktifitasnya di Yogyakarta, Rosita memilih menetap di Solo dan menggunakan kereta buatan Jepang ini untuk pulang pergi.

Sekalipun pelayanan kereta bisnis ini dari waktu terus menurun, dari masalah kebersihan gerbong hingga lokomotif yang sudah tidak layak jalan serta kenaikan tarif yang tidak sebanding dengan fasilitas yang diberikan, tidak menyurutkan niat ku untuk mengunakan alat transportasi ini. Ini dikarenakan, kereta ini tidak hanya alat transportasi buat ku, namun telah menjadi tempat untuk bersosialisasi. Tak jarang aku berkenalan dan berbincang dengan seseorang yang latar belakang yang berbeda. Mendapat pengalaman baru dari apa yang dialami orang yang baru aku kenal. Tidak hanya itu, disini juga menjadi tempat untuk berdiskusi tentang segala hal, tentang pemerintah, tentang budaya, bahkan tentang perekonomian.

Perkenalan dengan Rosita membuat saya bertanya bagaimana pendapatnya tentang fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Saya awali dengan fatwa merokok. “Kalo rokok itu saya melihatnya mudaratnya lebih banyak, kan ada hadis yang bilang, jagalah kesehatan, rokok itu kan merusak kesehatan, dari situ saja saya melihatnya,” jelasnya. Dia juga mengkaitkan dengan tradisi jawa dalam memeringati meninggalnya seseorang dengan ajaran agama yang menurutnya tidak ada kaitanya dengan Islam.

“Kalo fatwa tentang Ahmadiyah gimana?” Lanjut ku.

“Gak ada itu mas,” sambung cepat lelaki yang duduk di sebelah aku.

Aku lekas menoleh kearahnya.

“Gak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad, jelas sesat itu,” tegasnya.

Nampaknya pertanyaan ku menarik perhatiannya. Ketika aku melihat Rosita, ia hanya mengangguk saja.

“Tapi kalo kekerasan yang dialami Ahmadiyah bagaimana?” kejar ku.

“Pantes lah, ajaran sesat suruh bubar gak mau,” jawab singkat lelaki itu.

Satu hal yang aku tangkap dari perbincangan itu yakni pemahaman masyarakat tentang makna perbedaan dan kebebasan beragama masih sangat minim. Kasus Ahmadiyah misalnya.

85 tahun aliran kepercayaan itu telah masuk ke Indonesia. Penolakan sebagian masyarakat atas keberadaan Ahmadiyah tak pernah padam. Penolakan itu tidak hanya terwujud didalam tataran wacana, melainkan mencuat dalam bentuk pertikaian sosial yang berakibat jatuhnya korban. Perdebatan wacana, pertikaian sosial, dan baku-hantam fisik secara historis empiris tidak hanya terjadi sekali, akan tetapi berulang dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Anggapan bahwa Ahmadiyah adalah keyakinan yang sesat masih sangat kuat, khususnya penganut agama Islam. Tuduhan penodaan agama sangat kuat disini. Ajaran Ahmadiyah dianggap menyipangi dan bahkan merusak keyakinan agama Islam.

MUI sebagai organisasi Islam yang besar tidak diam saja. Pengkajian terhadap keyakinan Ahmadiyah oleh MUI sampai pada dikeluarkanya fatwa nomor : 05/Kep/Munas II/MUI/1980, yang secara eksplisit menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Fatwa tersebut menjadi sebuah dimensi baru dalam pemikiran masyarakat. Di kalangan masyarakat, terutama kubu penentang keberadaan Ahmadiyah, fatwa ini telah dianggap sebagai alat justifikasi dan legitimasi dari berbagai tindakan kekerasan yang mereka lakukan.

Perbedaan dalam beragama merupakan hal yang wajar selama kita mengetahui hakekat agama itu sendiri
Agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Dalam bahasa sansekerta  kata ”agama” berasal dari dua kata, yaitu a dan gam yang berarti a adalah tidak, sedangkan gam adalah kacau, sehingga berarti tidak kacau  atau teratur.

Max Weber dan ahli teologi Paul Tillich (1970) memberikan pandangan bahwa agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia yang membuat dunia bermakna. Dalam hal ini banyak pertanyaan dalam ajaran ketuhanan yang tidak dapat dibuktikan, maka untuk itu dipergunakan suatu keyakinan. Kelahiran misal, belum ada teknologi dalam dunia kedokteran untuk menjawab bagaimana menghidupkan sesuatu atau bagaimana mencegah kematian.

Kadang agama juga dipersamakan dengan keyakinan, namun keduanya pada dasarnya adalah hal yang berbeda. Keyakinan diambil dari kata yakin. Yakin dimaknai sebagai percaya dengan sungguh-sungguh, atau bisa dikatakan pasti dan tidak salah. Dan keyakinan sendiri diartikan sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan, keyakinan akan sesuatu tanpa perlu untuk dibuktikan atau bukti.

Sekalipun keduanya merupakan hal yang berbeda namun keduanya saling berkaitan. Ajaran-ajaran agama membutuhkan keyakianan agar diterima manusia. Tanpa adanya keyakinan tidak akan ada agama didunia ini, karena doktrin agama sangat sulit untuk dibuktikan.

Namun keyakinan tidak dapat timbul dengan sendirinya. Masyarakat, sebagai kumpulan individu membutuhkan informasi untuk mengetahui hal tertentu. Informasi tersebut akan disikapi secara berbeda oleh setiap individu. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan logika, serta pengalaman dalam hidupnya.

Perbedaan dalam menerima informasi adalah sebuah cilal bakal dari tumbuhnya pluralitas beragama. Seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga penganut Islam mengetahui bahwa Muhammad sebagai seorang tauladan, Nabi penutup yang menuntun kepada jalan kebaikan. Namun berbeda dengan seorang anak yang dilahirkan dalam keluarga Nasrani, yang melihat Yesus adalah juru selamatnya. Anak tunggal Allah yang merelakan dirinya disiksa dan disalib untuk menyelamatkan umatnya dari siksa neraka karena dosa yang telah diperbuat.

Keadaan diatas adalah perbedaan keyakinan dikarenakan hal yang wajar, yakni perbedaan informasi yang diterima. Namun nampaknya hal ini belum disadari oleh sebagian besar masyarakat. Anggapan bahwa keyakinannya-lah yang paling benar membenamkan kesadaran akan perbedaan dan memupuskan penghormatan atas keyakinan orang lain. Keadaan ini lah yang menyebabkan benturan-benturan antar umat beragama.
Ini adalah keadaan yang harus segera disadari oleh bangsa ini. Indonesia sebagai negara yang majemuk, yang terdiri dari entitas dengan berbagai perbedaan yang hidup dalam masyarakatnya ini sangat memungkinkan terjadi benturan-benturan tersebut.

Banyak yang harus di lakukan untuk Bangsa ini
Minimnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai perbedaan dan kebebasan dalam beragama sepertinya sudah mengakar dalam diri masyarakat. Merubah sesuatu yang sudah tertanam dan tumbuh sepertinya akan sulit namun bukan berarti tidak mungkin (setidaknya itu yang terus diupayakan oleh pihak-pihak yang peduli atas hak-hak asasi manusia). Akan lebih mudah bila mencegah dan mengupayakan sesuatu tumbuh dengan akar dan batang yang baik sehingga menghasilkan buah yang baik pula.

Hal tersebut dapat diupayakan dengan memberikan penyadaran atau membudayakan nilai-nilai perbedaan sejak dini. Ini adalah hal utama yang bisa kita lakukan. Masyarakat selayaknya mendapat pendidikan tentang perbedaan keyakinan. Pendidikan tersebut bisa diterapkan sejak dini, seperti di Taman Kanak-kanak, anak-anak usia dini sudah dipahamkan tentang hal tersebut dengan cara yang berbeda tentunya. Ini penting karena masa ini adalah masa yang menentukan perkembangan mental seorang anak.

Pemerintah, khususnya Departeman Pendidikan sepatutnya melakukan pembenahan kurikulum pendidikan. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang ada disekolah seharusnya lebih mendasarkan pada penerapan dan pemahaman nilai-nilai perbedaan tidak melulu menyoal tentang teori semata. Teori-teori tersebut hanya akan menjadi nilai dalam buku rapot semata.

Sekolah-sekolah umum juga sepantasnya menyediakan tempat-tempat beribadah bagi semua muridnya, sekalipun jumlah murid penganut agama tersebut sedikit. Pengalaman saya, dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas belum pernah saya jumpai ada tempat ibadah bagi penganut agama lain selain Islam. Pendiskriminasian ini juga memicu runtuhnya penghormatan bagi umat agama lain. Ini adalah hal yang sepele namun memeiliki dampak psikologis yang besar. Seorang anak yang sudah terbiasa melihat perbedaan akan melihat perbedaan sebagai hal yang wajar.

Dengan membiasakan memperlihatkan adanya perbedaan dalam kehidupan ini, maka masyarakat menyikapi hal-hal tersebut dengan sewajarnya.

Melihat kesadaran masyarakat dalam memaknai perbedaan dan kebebasan beragama yang masih rendah merupakan suatu keterpurukan bagi bangsa ini. 65 tahun bangsa ini merdeka namun kesadaran akan perbedaan ini belum sepenuhnya disadari. Penulis merasa ada suatu kegagalan sistem pendidikan yang dijalankan selama ini, sistem yang ada hanya mampu memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang pantas dan tidak pantas, hal yang boleh dan tidak boleh, hal yang terlarang dan yang diperbolehkan. Ada yang seharusnya dirubah. Pendidikan seharusnya didasarkan pada pemahaman akan nilai-nilai dalam masyarakat. Pemahaman itu harus diwujudkan dalam tataran yang nyata. Mislanya dengan menunjukan perbedaan adalah hal yang wajar. Dengan itu diharapkan masyarakat sejak dini sudah terbiasa melihat perbedaan, dan bersikap wajar atas itu. 

1 komentar:

  1. tulisan lama, tapi baru aku posting, aku lupa pernah menulis itu. hehehehhehe

    BalasHapus